Tag: investor

  • Saham Properti Masih Lesu Meski Suku Bunga Turun, Apa Penyebabnya?

    Saham Properti Masih Lesu Meski Suku Bunga Turun, Apa Penyebabnya?

    Serratalhadafc.com – Sektor properti di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mengalami tekanan sepanjang satu tahun terakhir. Padahal, Bank Indonesia (BI) telah memberikan stimulus lewat pemangkasan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada Mei 2025.

    Secara teori, penurunan suku bunga seharusnya menjadi angin segar bagi sektor properti. Pasalnya, sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga karena terkait langsung dengan pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan investasi jangka panjang. Namun kenyataannya, pelonggaran moneter tersebut belum cukup untuk mendorong harga saham properti ke zona hijau.

    Banyak Faktor Penghambat

    Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana, mengungkapkan bahwa lemahnya kinerja saham properti saat ini disebabkan oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan.

    “Daya beli kelas menengah masih belum sepenuhnya pulih setelah pandemi. Ditambah dengan inflasi yang tetap tinggi dan biaya hidup yang membebani, membuat masyarakat menahan diri untuk pembelian besar seperti rumah atau apartemen,” jelas Hendra pada Selasa (27/5/2025).

    Selain itu, meski BI telah memangkas suku bunga, penurunan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh sektor riil, terutama dalam bentuk suku bunga KPR. Perbankan masih bersikap hati-hati dalam menyalurkan kredit, sehingga penurunan bunga belum efektif menggerakkan permintaan.

    Minim Katalis Positif

    Faktor lain yang membebani sektor properti adalah berakhirnya insentif fiskal seperti PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Tanpa stimulus baru dari pemerintah, sektor ini kekurangan dorongan tambahan untuk bangkit dari tekanan.

    Hendra juga menambahkan bahwa kekhawatiran investor terhadap oversupply hunian vertikal dan ruang komersial di wilayah Jabodetabek turut menekan prospek pertumbuhan pendapatan berulang (recurring income) bagi para pengembang.

    “Ketika suplai lebih besar dari permintaan, potensi pendapatan jangka panjang dari penyewaan atau penjualan menjadi tidak menarik bagi pasar,” ujar Hendra.

    Kesimpulan

    Turunnya suku bunga acuan memang penting, tapi belum cukup untuk membalikkan arah sektor properti yang masih dibayangi tantangan struktural. Selama tidak ada perbaikan nyata di sisi daya beli, penyaluran kredit, dan dukungan kebijakan fiskal, saham-saham properti kemungkinan akan tetap tertahan dalam tekanan.

    Di Tengah Lesunya Sektor Properti, Emiten Besar Ini Tetap Tangguh

    Meski sektor properti secara umum mengalami tekanan di pasar saham, tidak semua emiten bernasib sama. Sejumlah pemain besar justru mampu mempertahankan kinerja yang stabil, bahkan menunjukkan ketahanan bisnis yang kuat. Beberapa nama yang mencuat di antaranya adalah Ciputra Development (CTRA), Summarecon Agung (SMRA), dan Puradelta Lestari (DMAS).

    CTRA: Tumbuh Lewat Proyek Nasional

    Ciputra Development (CTRA) berhasil menjaga laju pertumbuhan marketing sales berkat proyek-proyek andalannya seperti CitraLand dan CitraRaya yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Diversifikasi geografis menjadi salah satu kekuatan utama CTRA dalam menghadapi tantangan sektor properti.

    SMRA: Kuat di Serpong dan Bekasi

    Summarecon Agung (SMRA) juga menunjukkan performa solid. Kawasan township Serpong dan Bekasi terbukti menjadi penyumbang utama pendapatan dan laba bersih perusahaan. Konsistensi pengembangan kawasan terpadu yang dilengkapi dengan fasilitas komersial dan residensial membuat SMRA tetap diminati pasar.

    “SMRA juga menunjukkan daya tahan kuat, terutama lewat township Serpong dan Bekasi yang menyumbang kontribusi besar terhadap pendapatan dan laba bersih,” kata pengamat pasar modal Hendra Wardhana.

    DMAS: Fokus di Kawasan Industri

    Sementara itu, Puradelta Lestari (DMAS) memperoleh keunggulan melalui fokusnya pada penjualan lahan industri yang dikenal memiliki margin tinggi. DMAS juga terlibat dalam pengembangan Greenland International Industrial Center (GIIC), yang kini menarik minat dari sektor-sektor strategis seperti data center dan industri otomotif.

    Sinyal Penting bagi Investor

    Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak semua saham properti sedang terpuruk. Emiten-emiten dengan fundamental kuat, proyek strategis, dan diversifikasi usaha mampu tetap bertahan bahkan di tengah tekanan makro. Hal ini penting menjadi pertimbangan bagi investor dalam menyusun strategi dan seleksi saham properti yang memiliki prospek jangka panjang.

    Valuasi Menarik, Saham Properti Unggulan Masih Undervalued

    Meski sektor properti belum pulih sepenuhnya, sejumlah saham emiten besar seperti Ciputra Development (CTRA), Summarecon Agung (SMRA), dan Puradelta Lestari (DMAS) menunjukkan valuasi yang sangat atraktif. Hal ini memberi peluang menarik bagi investor yang berburu saham undervalued dengan fundamental solid.

    PER Jauh di Bawah Rata-Rata Industri

    Berdasarkan data kinerja tahunan (annualized) 2025, ketiga saham ini diperdagangkan dengan Price to Earnings Ratio (PER) yang jauh di bawah rata-rata industri properti sebesar 15,8x:

    • CTRA: 6,9x
    • SMRA: 7,2x
    • DMAS: 4,8x

    Angka ini menunjukkan bahwa pasar belum sepenuhnya mengapresiasi kekuatan kinerja dan prospek jangka panjang dari emiten-emiten tersebut.

    PBV Rendah, Masih Undervalued

    Dari sisi Price to Book Value (PBV) per kuartal I 2025, saham-saham ini juga terdiskon:

    • CTRA: 0,81x
    • SMRA: 0,61x
    • DMAS: 0,91x

    Sebagai perbandingan, rata-rata PBV sektor properti berada di level 0,94x. Artinya, ketiga saham ini masih berada di bawah nilai buku, padahal masih mencatatkan laba bersih, arus kas yang sehat, dan memiliki cadangan lahan strategis.

    PWON: Sudah Dihargai Lebih Tinggi

    Menariknya, saham Pakuwon Jati (PWON) yang memiliki pendapatan berulang dari segmen mal dan hotel, saat ini diperdagangkan pada valuasi yang lebih tinggi:

    • PER: 16x
    • PBV: 0,92x

    Kondisi ini menandakan bahwa ruang kenaikan saham PWON lebih terbatas dibandingkan CTRA dan SMRA yang saat ini justru dihargai lebih murah, namun tetap dibekali oleh fundamental kuat dan prospek pertumbuhan jangka panjang.

    “Bahkan bila dibandingkan dengan saham properti lain seperti Pakuwon Jati (PWON) yang sudah diperdagangkan pada PER 16x dan PBV 0,92x, valuasi CTRA dan SMRA terlihat jauh lebih menarik,” ungkap Hendra Wardhana, Founder Stocknow.id.

    Prospek Sektor Properti Masih Terbuka, Ini Syarat dan Saham yang Layak Dilirik

    Meskipun saham sektor properti di BEI masih tertahan dalam tekanan, peluang rebound tetap terbuka—dengan catatan, beberapa prasyarat penting harus terpenuhi.

    Tiga Faktor Kunci Pemulihan Properti

    1. Transmisi Suku Bunga ke KPR
      Penurunan BI Rate belum cukup efektif jika tidak segera diikuti penyesuaian suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Percepatan transmisi ini krusial agar permintaan rumah bisa kembali tumbuh.
    2. Kebijakan Pemerintah Baru
      Harapan tertuju pada pemerintahan Prabowo untuk mengeluarkan insentif perumahan, seperti:
      • Subsidi rumah pertama
      • Tax holiday bagi pengembang kawasan industri
        Ini akan menjadi katalis signifikan bagi sektor properti.
    3. Stabilitas Ekonomi dan Konsumsi Domestik
      Sektor properti bersifat pro-siklus, sehingga sangat bergantung pada iklim ekonomi dan daya beli masyarakat. Bila konsumsi rumah tangga pulih, minat terhadap properti akan ikut meningkat.

    Saham-Saham Properti Potensial: Mana Dikoleksi, Mana Dihindari

    Saham Layak Dikoleksi:

    • SMRA (Summarecon Agung)
      • Rekomendasi: Akumulasi Bertahap
      • Level Beli: 404
      • Target Harga: 515
        Township Serpong dan Bekasi tetap jadi pilar utama pendapatan.
    • CTRA (Ciputra Development)
      • Rekomendasi: Speculative Buy
      • Target Harga: 1.120
        Proyek-proyek nasional dan marketing sales tetap solid meski sektor lesu.
    • DMAS (Puradelta Lestari)
      • Rekomendasi: Speculative Buy
      • Target Harga: 185
        Sangat undervalued, dengan eksposur ke kawasan industri dan data center.

    Saham Netral:

    • PWON (Pakuwon Jati)
      • Rekomendasi: Hold
      • Valuasi sudah premium (PER 16x, PBV 0,92x), ruang kenaikan terbatas.

    Saham Berisiko Tinggi:

    • ASRI (Alam Sutera Realty)
      • Rekomendasi: Speculative Buy hanya di bawah 90
      • Butuh sentimen positif dari manajemen atau restrukturisasi utang.
    • APLN (Agung Podomoro Land)
      • Rekomendasi: Hindari
      • Masih dibayangi stagnasi proyek, utang tinggi, dan minim katalis pemulihan.

    “ASRI mungkin bisa menjadi speculative buy di bawah 90 jika ada perkembangan positif dari sisi manajemen atau restrukturisasi. Sementara APLN untuk saat ini lebih baik dihindari,” jelas Hendra Wardhana, Founder Stocknow.id.

    Kesimpulan:
    Rebound sektor properti bisa terjadi, namun sangat bergantung pada penyesuaian suku bunga, dukungan kebijakan fiskal, dan pemulihan daya beli masyarakat. Bagi investor, seleksi saham menjadi kunci utama di tengah kondisi yang masih fluktuatif.

  • Waspada Dividend Trap, Ini Tips Menghindarinya

    Waspada Dividend Trap, Ini Tips Menghindarinya

    Serratalhadafc.com – Dividen menjadi daya tarik utama bagi banyak investor saham, terutama bagi mereka yang mengejar pendapatan pasif atau keuntungan jangka pendek. Namun, dividen tinggi tidak selalu berarti peluang bagus. Ada risiko yang dikenal sebagai dividend trap atau jebakan dividen.

    Dividend trap terjadi ketika perusahaan menawarkan dividen tinggi untuk menarik investor, padahal kondisi keuangan mereka sebenarnya tidak sehat. Biasanya, setelah pengumuman dividen, harga saham turun signifikan hingga cum date, membuat investor terjebak dan mengalami kerugian.

    Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, mengingatkan bahwa investor tidak boleh terpaku hanya pada angka yield yang tinggi. Ia menekankan pentingnya memperhatikan fundamental perusahaan sebelum mengambil keputusan.

    “Kalau dividend yield tinggi tapi fundamentalnya buruk, lebih baik tidak mengambil dividennya. Cukup manfaatkan pergerakan harga sahamnya,” ujar Nico, dikutip Senin (28/4/2025).

    Ia juga menyarankan investor untuk menyesuaikan strategi dengan tujuan masing-masing, apakah ingin menikmati dividen atau hanya mengejar capital gain. “Ini penting karena biasanya harga saham akan turun setelah terjadi dividend trap,” tambahnya.

    Dengan pemahaman yang tepat, investor bisa lebih bijak dalam memilih saham dan menghindari jebakan dividen.

    Fokus pada Fundamental Perusahaan

    Pengamat pasar modal sekaligus founder Traderindo.com, Wahyu Laksono, menegaskan pentingnya memilih perusahaan dengan fundamental kuat dan prospek jangka panjang yang cerah. Menurutnya, fokus pada dividen jangka pendek saja tidak cukup untuk membangun strategi investasi yang aman.

    “Jangan hanya beli saham menjelang cum date demi mengejar dividen sesaat. Pilih perusahaan yang fundamentalnya solid dan prospek bisnisnya menjanjikan, agar kenaikan harga jangka panjang bisa menutupi penurunan setelah ex date,” ujar Wahyu.

    Ia menekankan bahwa investor harus berpikir jauh ke depan. Memilih saham hanya karena dividen tanpa mempertimbangkan kemampuan perusahaan bertahan dan berkembang bisa membawa risiko. Setelah cum date, harga saham umumnya turun, dan jika prospek perusahaan buruk, kerugian bisa lebih besar daripada dividen yang didapat.

    Dengan memperhatikan kekuatan fundamental dan prospek pertumbuhan, investor dapat menghindari jebakan dividen dan membangun portofolio yang lebih stabil dan menguntungkan.

    Dividen Tinggi Bisa Jadi Sinyal Bahaya, Ini Penjelasannya

    Dividen dengan yield tinggi memang menggoda, tapi investor harus waspada. Yield yang sangat tinggi bisa jadi tanda ada masalah di perusahaan.

    Dalam banyak kasus, yield tinggi muncul karena harga saham sudah jatuh tajam, sehingga persentase dividen tampak besar. “Jangan mudah tergiur yield tinggi sesaat. Itu bisa jadi sinyal ada masalah di perusahaan atau harga saham yang sedang anjlok,” kata Wahyu Laksono, founder Traderindo.com.

    Investor disarankan untuk tidak hanya terpaku pada angka yield, tapi juga menilai kondisi perusahaan secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan.