Tag: suku bunga

  • BI Turunkan Suku Bunga ke 5%, Ini Sektor Saham yang Berpotensi Menguat

    BI Turunkan Suku Bunga ke 5%, Ini Sektor Saham yang Berpotensi Menguat

    Serratalhadafc.com – Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5% pada Rapat Dewan Gubernur 19–20 Agustus 2025. Kebijakan ini langsung disambut positif pasar saham, tercermin dari kenaikan IHSG sebesar 1,03% ke level 7.943,82 pada perdagangan Rabu, 20 Agustus 2025.

    Menurut riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, sentimen pemangkasan suku bunga mendorong sektor properti, konsumer, dan bahan baku sebagai unggulan. Selain itu, sektor perbankan dan finansial juga diperkirakan mendapat dorongan positif dari biaya dana (cost of funds) yang lebih rendah.

    Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menjelaskan faktor-faktor yang mendukung pergerakan tersebut:

    • Bahan baku dan industri – Penguatan sejalan dengan rebound aktivitas ekonomi yang mendorong permintaan di sektor ini.
    • Properti – Prospek penjualan diperkirakan meningkat karena suku bunga lebih rendah berpotensi mendorong permintaan kredit properti.
    • Konsumer non-siklikal – Sektor defensif ini cenderung menjadi pilihan investor ketika risiko global meningkat, sekaligus mendapat dukungan dari sentimen domestik.

    BI Turunkan Suku Bunga ke 5%, Ini Sektor Saham yang Berpotensi Menguat

    Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5% pada Rapat Dewan Gubernur 19–20 Agustus 2025. Kebijakan ini langsung disambut positif pasar saham, tercermin dari kenaikan IHSG sebesar 1,03% ke level 7.943,82 pada perdagangan Rabu, 20 Agustus 2025.

    Menurut riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, sentimen pemangkasan suku bunga mendorong sektor properti, konsumer, bahan baku, serta perbankan dan finansial menjadi unggulan di pasar saat ini.

    Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, memaparkan faktor-faktor yang mendukung pergerakan tersebut:

    1. Properti – Prospek penjualan diperkirakan meningkat karena suku bunga lebih rendah mendorong permintaan kredit properti.
    2. Konsumer non-siklikal – Sektor defensif yang menjadi pilihan investor di tengah risiko global, dengan sentimen domestik yang mendukung penguatan.
    3. Bahan baku dan industri – Menguat seiring rebound aktivitas ekonomi yang mendorong permintaan sektor ini.
    4. Perbankan dan finansial – Menjadi penerima manfaat langsung dari penurunan suku bunga. Biaya pendanaan lebih murah, peluang pertumbuhan kredit meningkat, serta perannya sebagai tulang punggung IHSG dengan kapitalisasi besar menyediakan likuiditas bagi arus modal asing.

    Meski begitu, analis mengingatkan bahwa efek pemangkasan suku bunga bisa bersifat sementara tanpa dukungan katalis lanjutan.

    “Stabilitas rupiah dan peluang pelonggaran moneter The Fed juga memperkuat outlook pro-ekonomi, sekaligus menjaga arus modal asing tetap masuk ke pasar Indonesia,” jelas Liza.

    BI Turunkan Suku Bunga ke 5%, Ini Sektor Saham yang Berpotensi Menguat

    Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5% pada Rapat Dewan Gubernur 19–20 Agustus 2025. Kebijakan ini langsung disambut positif pasar saham, tercermin dari kenaikan IHSG sebesar 1,03% ke level 7.943,82 pada perdagangan Rabu, 20 Agustus 2025.

    Namun, sebelum pengumuman BI tersebut, IHSG sempat tertekan pada 19–22 Agustus 2025. Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks melemah 0,50% ke posisi 7.858,85 dalam sepekan, lebih dalam dibanding pekan sebelumnya yang turun tipis 0,06% ke level 7.533,38. Kapitalisasi pasar juga ikut terkoreksi 0,81% menjadi Rp14.131 triliun dari Rp14.247 triliun pada pekan sebelumnya.

    Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menjelaskan pelemahan IHSG saat itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, kebijakan suku bunga China yang tetap tidak berubah di tengah perang tarif dagang. Kedua, keputusan BI memangkas suku bunga acuan ke 5%, yang di luar ekspektasi konsensus pasar.

    Meski sempat melemah, pasar berbalik arah setelah keputusan BI dipersepsikan positif bagi perekonomian dan sektor saham tertentu. Dalam riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, sentimen pemangkasan suku bunga mendorong sektor properti, konsumer, bahan baku, serta perbankan dan finansial sebagai unggulan.

    Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, memaparkan faktor-faktor pendorongnya:

    1. Properti – Prospek penjualan membaik karena bunga kredit lebih rendah berpotensi meningkatkan permintaan.
    2. Konsumer non-siklikal – Sektor defensif yang cenderung dipilih investor saat risiko global meningkat, dengan dukungan sentimen domestik.
    3. Bahan baku dan industri – Penguatan seiring rebound aktivitas ekonomi.
    4. Perbankan dan finansial – Mendapat manfaat langsung dari penurunan suku bunga, dengan biaya dana lebih murah, potensi pertumbuhan kredit lebih besar, dan perannya sebagai tulang punggung IHSG.

    Meski demikian, analis mengingatkan bahwa dampak pemangkasan suku bunga bisa bersifat sementara tanpa katalis tambahan. Stabilitas rupiah dan peluang pelonggaran moneter The Fed disebut sebagai faktor penting untuk menjaga arus modal asing tetap masuk ke pasar Indonesia.

  • Wall Street Ditutup Variatif, The Fed Belum Siap Turunkan Suku Bunga

    Wall Street Ditutup Variatif, The Fed Belum Siap Turunkan Suku Bunga

    Serratalhadafc.com – Pasar saham Amerika Serikat ditutup bervariasi pada perdagangan Rabu, 30 Juli 2025, setelah keputusan The Federal Reserve (The Fed) yang mempertahankan suku bunga acuannya. Bank sentral AS juga menyatakan belum siap mengambil langkah untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat.

    Ketua The Fed, Jerome Powell, menyampaikan bahwa kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump mulai memberikan dampak terhadap tekanan inflasi. Namun, efek jangka panjangnya terhadap ekonomi secara keseluruhan dan inflasi masih belum sepenuhnya terlihat.

    Mengutip laporan Anugerahslot CNBC, Kamis (31/7/2025), indeks S&P 500 turun tipis 0,12% ke level 6.362,90, sementara Dow Jones melemah 171,71 poin atau 0,38% ke posisi 44.461,28. Di sisi lain, indeks Nasdaq naik 0,15% menjadi 21.129,67. Padahal, pada sesi tertingginya hari itu, S&P 500 sempat menguat 0,4% dan Dow Jones bertambah 0,2%.

    Pelaku pasar mencermati dengan seksama pernyataan Powell dalam konferensi pers pasca-pertemuan kebijakan The Fed. Ia menegaskan bahwa pihaknya belum mengambil keputusan apa pun terkait kemungkinan perubahan kebijakan pada pertemuan mendatang di bulan September.

    “Kami berkewajiban menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang agar tetap stabil, serta mencegah lonjakan harga sementara berubah menjadi masalah inflasi yang persisten,” ujar Powell.

    Ia juga menambahkan bahwa tarif yang lebih tinggi kini mulai terasa pada harga sejumlah barang, namun sejauh mana kebijakan tersebut akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi secara menyeluruh masih harus ditelaah lebih lanjut.

    Pernyataan ini membuat harapan investor terhadap pemangkasan suku bunga pada bulan September memudar. Sebagai dampaknya, imbal hasil obligasi pemerintah AS mengalami kenaikan, mencerminkan kekhawatiran bahwa penurunan suku bunga mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat.

    The Fed Tahan Suku Bunga, Wall Street Kembali Tertekan

    Keputusan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) untuk mempertahankan suku bunga acuannya dalam pertemuan kebijakan terbaru ternyata tidak diambil secara bulat. Dua anggota dewan gubernur, Michelle Bowman dan Christopher Waller, menyatakan ketidaksetujuan mereka. Keduanya justru mendukung pemangkasan suku bunga sebesar 0,25 persen.

    Meski demikian, Ketua The Fed Jerome Powell memilih bersikap hati-hati dan tidak tunduk pada tekanan politik untuk segera melonggarkan kebijakan moneter. Hal ini memicu perubahan ekspektasi pasar terhadap arah suku bunga dalam beberapa bulan ke depan.

    “Powell tidak menyerah pada tekanan politik untuk menurunkan suku bunga, sehingga pasar perlu mengevaluasi ulang proyeksi tingkat suku bunga Dana Fed ke depan,” ujar Jamie Cox, Managing Partner di Harris Financial Group.

    Cox juga menilai bahwa reaksi pasar masih tergolong wajar, karena arah kebijakan The Fed mulai terlihat lebih jelas, walaupun Powell saat ini cenderung memilih pendekatan “wait and see”.

    Pada Rabu (30/7), Wall Street mengalami hari kedua berturut-turut mencatatkan kerugian setelah sebelumnya S&P 500 membukukan enam kali rekor penutupan tertinggi. Di awal sesi, indeks saham utama sempat dibuka menguat, terdorong oleh laporan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih baik dari perkiraan, yang memberi keyakinan bahwa perekonomian masih mampu bertahan di tengah tekanan tarif yang tinggi.

    Namun, setelah pernyataan dari The Fed, sentimen pasar bergeser. Koreksi pasar terutama terjadi pada saham-saham konsumer, seperti Home Depot, yang selama ini dipandang akan diuntungkan dari potensi penurunan tarif.

    IHSG Terkoreksi, Sektor Infrastruktur Jadi Penekan Terbesar

    Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik arah ke zona merah pada perdagangan Rabu, 30 Juli 2025. Koreksi terjadi di tengah tekanan dari sektor infrastruktur yang mencatat penurunan paling tajam.

    Mengutip data RTI, IHSG ditutup melemah 0,89% ke level 7.549,88, sementara indeks LQ45 turun 0,86% ke posisi 798,15. Sebagian besar indeks acuan terpantau bergerak di zona negatif.

    Sepanjang perdagangan, IHSG sempat menyentuh level tertinggi 7.667,56 dan terendah 7.528,12. Tercatat 321 saham melemah, menekan laju indeks, sementara 283 saham menguat dan 200 saham stagnan.

    Total frekuensi perdagangan mencapai 1.850.858 kali dengan volume 39,2 miliar saham dan nilai transaksi harian sebesar Rp 15,8 triliun. Sementara itu, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah berada di kisaran Rp 16.390.

    Sektor Infrastruktur Pimpin Koreksi

    Mayoritas sektor mencatat penurunan, dipimpin oleh:

    • Infrastruktur: -3,21% (koreksi terdalam)
    • Keuangan: -2,13%
    • Basic Materials: -0,84%
    • Energi: -0,76%
    • Properti: -0,11%

    Di sisi lain, beberapa sektor justru mencatatkan penguatan:

    • Teknologi: +2,12% (penguatan tertinggi)
    • Industri: +1,53%
    • Consumer Nonsiklikal: +0,94%
    • Kesehatan: +0,35%
    • Transportasi: +0,29%
    • Consumer Siklikal: +0,03%
  • Pasar Keuangan Global Tertekan Sentimen Negatif Usai Pernyataan Donald Trump dan Rilis Data Inflasi AS

    Pasar Keuangan Global Tertekan Sentimen Negatif Usai Pernyataan Donald Trump dan Rilis Data Inflasi AS

    Serratalhadafc.com – Pasar keuangan global kembali diliputi sentimen negatif setelah pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengenai rencananya untuk menaikkan tarif dagang. Pernyataan ini muncul tak lama setelah data inflasi AS untuk Mei 2025 diumumkan, yang mencatat kenaikan sebesar 0,1%.

    Bursa saham AS mengalami pelemahan tipis pada perdagangan Rabu (12/6/2025). Indeks S&P 500 melemah 0,3%, Nasdaq turun 0,5%, sementara Dow Jones nyaris tidak berubah.

    Laporan inflasi menunjukkan bahwa kenaikan harga konsumen berada di bawah ekspektasi sejumlah ekonom. Kenaikan inflasi pada bulan tersebut terutama dipicu oleh meningkatnya biaya sewa. Di sisi lain, harga bensin mengalami penurunan, dan harga pangan tercatat naik sebesar 0,3%. Secara tahunan, inflasi berada di level 2,4%, sementara inflasi inti—yang tidak memasukkan komponen makanan dan energi—mencapai 2,8%.

    Meskipun tekanan inflasi saat ini tergolong moderat, para analis memperkirakan adanya potensi lonjakan inflasi di masa depan sebagai dampak dari kebijakan tarif baru yang direncanakan.

    Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menjelaskan bahwa dampak dari tarif baru belum sepenuhnya terasa karena banyak peritel masih menjual produk dari stok lama.

    “Pemerintah AS terlihat berupaya menekan perusahaan besar untuk tidak langsung menaikkan harga. Namun, para ekonom memprediksi bahwa efek dari kebijakan tarif akan muncul secara bertahap dan berpotensi mendorong inflasi lebih tinggi ke depannya,” kata Fahmi dalam pernyataan resmi yang dikutip dari Anugerahslot pada Jumat (13/6/2025).

    Wacana Kenaikan Tarif Dagang oleh Trump Picu Kehati-hatian Investor, Meski Inflasi Mulai Terkendali

    Saat investor mulai melihat sinyal positif dari data inflasi Amerika Serikat, pernyataan terbaru dari mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali menghadirkan ketidakpastian. Trump menyuarakan rencana untuk menerapkan tarif dagang secara sepihak terhadap sejumlah mitra dagang AS dalam waktu 1–2 minggu ke depan, menjelang tenggat 9 Juli 2025.

    “Pernyataan ini berpotensi menambah tekanan terhadap pasar, apalagi jika wacana tersebut berkembang menjadi kebijakan konkret,” ujar analis Reku, Fahmi Almuttaqin. Ia menambahkan, saat ini banyak media melaporkan bahwa Trump berniat mengirimkan surat kepada negara-negara mitra dagang yang berisi rincian tarif baru dengan pendekatan ‘take it or leave it’.

    Kendati demikian, masih belum ada kepastian apakah Trump benar-benar akan merealisasikan rencana tersebut tepat waktu. Sebelumnya, ia beberapa kali menetapkan tenggat kebijakan yang akhirnya ditunda atau dibatalkan.

    Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar semakin berhati-hati, meskipun tren inflasi saat ini menunjukkan perbaikan. Investor tetap fokus pada risiko inflasi ke depan, terutama jika kebijakan tarif baru terealisasi dan mendorong kenaikan harga barang impor.

    Aset kripto pun belum menunjukkan lonjakan harga yang signifikan, karena investor menanti kejelasan lebih lanjut dan mempertimbangkan kemungkinan langkah yang akan diambil oleh The Federal Reserve dalam pertemuan FOMC pekan depan.

    Inflasi Mereda, Namun Ketidakpastian Tarif dan Suku Bunga Bayangi Pasar

    Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menyampaikan bahwa perbaikan data inflasi berhasil meredam sentimen negatif yang lebih dalam di pasar keuangan. Namun, ketidakpastian tetap menjadi faktor dominan, terutama jika rencana penerapan tarif dagang benar-benar dijalankan dan negosiasi antara Amerika Serikat dan China tidak menghasilkan kemajuan hingga Agustus.

    Saat ini, pasar memperkirakan bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan suku bunga acuannya dalam pertemuan minggu depan. Proyeksi pemangkasan suku bunga baru diperkirakan terjadi pada September, dengan syarat inflasi tetap terkendali. Meski demikian, tekanan politik dari Donald Trump agar The Fed segera memangkas suku bunga juga menjadi sorotan, terutama karena kebijakan tarif yang tertunda berpotensi kembali memicu kenaikan inflasi.

    Dalam kondisi pasar yang penuh fluktuasi ini, Fahmi menekankan pentingnya strategi investasi yang bijak. Salah satu pendekatan yang disarankan adalah Dollar Cost Averaging (DCA), yakni strategi investasi dengan membeli aset secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Strategi ini dinilai efektif untuk mengurangi risiko akibat volatilitas harga dan membantu investor tetap konsisten dalam menghadapi ketidakpastian pasar.

  • Saham Properti Masih Lesu Meski Suku Bunga Turun, Apa Penyebabnya?

    Saham Properti Masih Lesu Meski Suku Bunga Turun, Apa Penyebabnya?

    Serratalhadafc.com – Sektor properti di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mengalami tekanan sepanjang satu tahun terakhir. Padahal, Bank Indonesia (BI) telah memberikan stimulus lewat pemangkasan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada Mei 2025.

    Secara teori, penurunan suku bunga seharusnya menjadi angin segar bagi sektor properti. Pasalnya, sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga karena terkait langsung dengan pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan investasi jangka panjang. Namun kenyataannya, pelonggaran moneter tersebut belum cukup untuk mendorong harga saham properti ke zona hijau.

    Banyak Faktor Penghambat

    Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana, mengungkapkan bahwa lemahnya kinerja saham properti saat ini disebabkan oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan.

    “Daya beli kelas menengah masih belum sepenuhnya pulih setelah pandemi. Ditambah dengan inflasi yang tetap tinggi dan biaya hidup yang membebani, membuat masyarakat menahan diri untuk pembelian besar seperti rumah atau apartemen,” jelas Hendra pada Selasa (27/5/2025).

    Selain itu, meski BI telah memangkas suku bunga, penurunan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh sektor riil, terutama dalam bentuk suku bunga KPR. Perbankan masih bersikap hati-hati dalam menyalurkan kredit, sehingga penurunan bunga belum efektif menggerakkan permintaan.

    Minim Katalis Positif

    Faktor lain yang membebani sektor properti adalah berakhirnya insentif fiskal seperti PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Tanpa stimulus baru dari pemerintah, sektor ini kekurangan dorongan tambahan untuk bangkit dari tekanan.

    Hendra juga menambahkan bahwa kekhawatiran investor terhadap oversupply hunian vertikal dan ruang komersial di wilayah Jabodetabek turut menekan prospek pertumbuhan pendapatan berulang (recurring income) bagi para pengembang.

    “Ketika suplai lebih besar dari permintaan, potensi pendapatan jangka panjang dari penyewaan atau penjualan menjadi tidak menarik bagi pasar,” ujar Hendra.

    Kesimpulan

    Turunnya suku bunga acuan memang penting, tapi belum cukup untuk membalikkan arah sektor properti yang masih dibayangi tantangan struktural. Selama tidak ada perbaikan nyata di sisi daya beli, penyaluran kredit, dan dukungan kebijakan fiskal, saham-saham properti kemungkinan akan tetap tertahan dalam tekanan.

    Di Tengah Lesunya Sektor Properti, Emiten Besar Ini Tetap Tangguh

    Meski sektor properti secara umum mengalami tekanan di pasar saham, tidak semua emiten bernasib sama. Sejumlah pemain besar justru mampu mempertahankan kinerja yang stabil, bahkan menunjukkan ketahanan bisnis yang kuat. Beberapa nama yang mencuat di antaranya adalah Ciputra Development (CTRA), Summarecon Agung (SMRA), dan Puradelta Lestari (DMAS).

    CTRA: Tumbuh Lewat Proyek Nasional

    Ciputra Development (CTRA) berhasil menjaga laju pertumbuhan marketing sales berkat proyek-proyek andalannya seperti CitraLand dan CitraRaya yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Diversifikasi geografis menjadi salah satu kekuatan utama CTRA dalam menghadapi tantangan sektor properti.

    SMRA: Kuat di Serpong dan Bekasi

    Summarecon Agung (SMRA) juga menunjukkan performa solid. Kawasan township Serpong dan Bekasi terbukti menjadi penyumbang utama pendapatan dan laba bersih perusahaan. Konsistensi pengembangan kawasan terpadu yang dilengkapi dengan fasilitas komersial dan residensial membuat SMRA tetap diminati pasar.

    “SMRA juga menunjukkan daya tahan kuat, terutama lewat township Serpong dan Bekasi yang menyumbang kontribusi besar terhadap pendapatan dan laba bersih,” kata pengamat pasar modal Hendra Wardhana.

    DMAS: Fokus di Kawasan Industri

    Sementara itu, Puradelta Lestari (DMAS) memperoleh keunggulan melalui fokusnya pada penjualan lahan industri yang dikenal memiliki margin tinggi. DMAS juga terlibat dalam pengembangan Greenland International Industrial Center (GIIC), yang kini menarik minat dari sektor-sektor strategis seperti data center dan industri otomotif.

    Sinyal Penting bagi Investor

    Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak semua saham properti sedang terpuruk. Emiten-emiten dengan fundamental kuat, proyek strategis, dan diversifikasi usaha mampu tetap bertahan bahkan di tengah tekanan makro. Hal ini penting menjadi pertimbangan bagi investor dalam menyusun strategi dan seleksi saham properti yang memiliki prospek jangka panjang.

    Valuasi Menarik, Saham Properti Unggulan Masih Undervalued

    Meski sektor properti belum pulih sepenuhnya, sejumlah saham emiten besar seperti Ciputra Development (CTRA), Summarecon Agung (SMRA), dan Puradelta Lestari (DMAS) menunjukkan valuasi yang sangat atraktif. Hal ini memberi peluang menarik bagi investor yang berburu saham undervalued dengan fundamental solid.

    PER Jauh di Bawah Rata-Rata Industri

    Berdasarkan data kinerja tahunan (annualized) 2025, ketiga saham ini diperdagangkan dengan Price to Earnings Ratio (PER) yang jauh di bawah rata-rata industri properti sebesar 15,8x:

    • CTRA: 6,9x
    • SMRA: 7,2x
    • DMAS: 4,8x

    Angka ini menunjukkan bahwa pasar belum sepenuhnya mengapresiasi kekuatan kinerja dan prospek jangka panjang dari emiten-emiten tersebut.

    PBV Rendah, Masih Undervalued

    Dari sisi Price to Book Value (PBV) per kuartal I 2025, saham-saham ini juga terdiskon:

    • CTRA: 0,81x
    • SMRA: 0,61x
    • DMAS: 0,91x

    Sebagai perbandingan, rata-rata PBV sektor properti berada di level 0,94x. Artinya, ketiga saham ini masih berada di bawah nilai buku, padahal masih mencatatkan laba bersih, arus kas yang sehat, dan memiliki cadangan lahan strategis.

    PWON: Sudah Dihargai Lebih Tinggi

    Menariknya, saham Pakuwon Jati (PWON) yang memiliki pendapatan berulang dari segmen mal dan hotel, saat ini diperdagangkan pada valuasi yang lebih tinggi:

    • PER: 16x
    • PBV: 0,92x

    Kondisi ini menandakan bahwa ruang kenaikan saham PWON lebih terbatas dibandingkan CTRA dan SMRA yang saat ini justru dihargai lebih murah, namun tetap dibekali oleh fundamental kuat dan prospek pertumbuhan jangka panjang.

    “Bahkan bila dibandingkan dengan saham properti lain seperti Pakuwon Jati (PWON) yang sudah diperdagangkan pada PER 16x dan PBV 0,92x, valuasi CTRA dan SMRA terlihat jauh lebih menarik,” ungkap Hendra Wardhana, Founder Stocknow.id.

    Prospek Sektor Properti Masih Terbuka, Ini Syarat dan Saham yang Layak Dilirik

    Meskipun saham sektor properti di BEI masih tertahan dalam tekanan, peluang rebound tetap terbuka—dengan catatan, beberapa prasyarat penting harus terpenuhi.

    Tiga Faktor Kunci Pemulihan Properti

    1. Transmisi Suku Bunga ke KPR
      Penurunan BI Rate belum cukup efektif jika tidak segera diikuti penyesuaian suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Percepatan transmisi ini krusial agar permintaan rumah bisa kembali tumbuh.
    2. Kebijakan Pemerintah Baru
      Harapan tertuju pada pemerintahan Prabowo untuk mengeluarkan insentif perumahan, seperti:
      • Subsidi rumah pertama
      • Tax holiday bagi pengembang kawasan industri
        Ini akan menjadi katalis signifikan bagi sektor properti.
    3. Stabilitas Ekonomi dan Konsumsi Domestik
      Sektor properti bersifat pro-siklus, sehingga sangat bergantung pada iklim ekonomi dan daya beli masyarakat. Bila konsumsi rumah tangga pulih, minat terhadap properti akan ikut meningkat.

    Saham-Saham Properti Potensial: Mana Dikoleksi, Mana Dihindari

    Saham Layak Dikoleksi:

    • SMRA (Summarecon Agung)
      • Rekomendasi: Akumulasi Bertahap
      • Level Beli: 404
      • Target Harga: 515
        Township Serpong dan Bekasi tetap jadi pilar utama pendapatan.
    • CTRA (Ciputra Development)
      • Rekomendasi: Speculative Buy
      • Target Harga: 1.120
        Proyek-proyek nasional dan marketing sales tetap solid meski sektor lesu.
    • DMAS (Puradelta Lestari)
      • Rekomendasi: Speculative Buy
      • Target Harga: 185
        Sangat undervalued, dengan eksposur ke kawasan industri dan data center.

    Saham Netral:

    • PWON (Pakuwon Jati)
      • Rekomendasi: Hold
      • Valuasi sudah premium (PER 16x, PBV 0,92x), ruang kenaikan terbatas.

    Saham Berisiko Tinggi:

    • ASRI (Alam Sutera Realty)
      • Rekomendasi: Speculative Buy hanya di bawah 90
      • Butuh sentimen positif dari manajemen atau restrukturisasi utang.
    • APLN (Agung Podomoro Land)
      • Rekomendasi: Hindari
      • Masih dibayangi stagnasi proyek, utang tinggi, dan minim katalis pemulihan.

    “ASRI mungkin bisa menjadi speculative buy di bawah 90 jika ada perkembangan positif dari sisi manajemen atau restrukturisasi. Sementara APLN untuk saat ini lebih baik dihindari,” jelas Hendra Wardhana, Founder Stocknow.id.

    Kesimpulan:
    Rebound sektor properti bisa terjadi, namun sangat bergantung pada penyesuaian suku bunga, dukungan kebijakan fiskal, dan pemulihan daya beli masyarakat. Bagi investor, seleksi saham menjadi kunci utama di tengah kondisi yang masih fluktuatif.

  • Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 5,50%, Pasar Sambut Positif

    Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 5,50%, Pasar Sambut Positif

    Serratalhadafc.com – Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 20–21 Mei 2025. Keputusan ini menjadi sinyal awal dari fase pelonggaran kebijakan moneter, setelah sebelumnya BI melakukan pengetatan sejak 2023.

    Langkah ini disambut positif oleh pasar, mencerminkan optimisme terhadap stabilitas perekonomian nasional. Penurunan suku bunga juga menunjukkan keyakinan BI bahwa laju inflasi tetap berada dalam kendali.

    “Keputusan ini mencerminkan kepercayaan Bank Indonesia terhadap prospek inflasi 2025–2026 yang tetap berada dalam kisaran target 2,5% ±1%, serta stabilnya nilai tukar rupiah,” ujar Hendra Wardhana, Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, dalam pernyataannya kepada Serratalhadafc.com, Rabu (21/5/2025).

    Selain itu, penurunan suku bunga ini memberi ruang lebih bagi BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui pelonggaran moneter. Kondisi stabil tersebut menjadi momentum yang tepat untuk memberikan stimulus kepada sektor riil dan keuangan.

    Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat konsumsi domestik, investasi, serta mendukung momentum pemulihan ekonomi nasional dalam jangka menengah.

    Saham Perbankan dan Properti Diuntungkan Penurunan Suku Bunga, Investor Asing Kembali Masuk

    Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia turut memberikan sentimen positif terhadap sejumlah sektor, terutama perbankan dan properti. Saham-saham seperti BBRI dan BBTN diprediksi mencatatkan kinerja yang lebih kuat berkat turunnya biaya dana (cost of fund) serta meningkatnya permintaan kredit, khususnya pada segmen mikro dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

    “BBRI direkomendasikan buy dengan target harga 4.530, sedangkan BBTN juga buy dengan target harga 1.400, didorong oleh proyeksi lonjakan penyaluran kredit perumahan,” ujar Hendra Wardhana, analis pasar modal dan pendiri Stocknow.id.

    Dari sektor properti, penurunan bunga KPR diperkirakan akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap hunian. Emiten seperti Summarecon Agung (SMRA) dan Alam Sutera Realty (ASRI) berpeluang besar mendapatkan manfaat langsung dari tren ini.

    SMRA direkomendasikan buy dengan target harga 515, sementara ASRI ditargetkan 189, karena keduanya memiliki proyek township strategis yang sangat peka terhadap stimulus bunga rendah.

    Investor Asing Mulai Kembali, IHSG Menguat

    Turunnya suku bunga acuan juga memperkuat daya tarik pasar modal Indonesia di mata investor global. Dengan suku bunga riil Indonesia yang masih positif di kisaran 3%, serta stabilitas nilai tukar rupiah, pasar saham nasional kini dinilai lebih kompetitif secara global.

    Keyakinan investor asing tercermin dalam aksi beli bersih (net buy) senilai Rp993 miliar di hari pengumuman kebijakan BI. Ini menjadi indikasi bahwa kepercayaan terhadap ekonomi domestik mulai pulih dan tren penguatan IHSG diperkirakan akan berlanjut dalam waktu dekat.

    IHSG Tembus MA200, Sinyal Bullish Menguat: Sektor Perbankan dan Properti Jadi Penopang

    Secara teknikal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menembus Moving Average 200 (MA200) di level 7.140, yang menjadi indikator kuat bahwa tren naik jangka menengah masih terjaga.

    “Hal ini diperkuat dengan aksi beli bersih (net buy) asing senilai Rp993 miliar hari ini, yang menunjukkan respons positif terhadap keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan,” ujar analis pasar modal Hendra Wardhana.

    Momentum Baru untuk Pasar Saham dan Ekonomi Riil

    Penurunan suku bunga acuan menjadi angin segar bagi pasar modal. Kebijakan ini tidak hanya menopang pemulihan konsumsi dan investasi, tetapi juga menghidupkan kembali kepercayaan investor. Selain itu, langkah ini dinilai mampu mendorong laju pertumbuhan sektor riil, terutama perbankan, properti, dan sektor konsumer.

    Dengan tren positif ini, IHSG berpeluang menguji level resistensi di 7.324, dan bahkan bisa menuju 7.530 dalam jangka menengah. Meski demikian, investor disarankan tetap waspada terhadap potensi koreksi sehat di kisaran 7.050–7.100 sebelum kenaikan berlanjut dengan lebih solid.

    “Sektor perbankan, properti, dan konsumer akan menjadi motor utama penguatan IHSG. Optimisme domestik dan derasnya aliran dana asing memberi peluang besar bagi indeks untuk menembus area resistensi psikologis berikutnya,” tutup Hendra.