Tag: tarif trump

  • Saham Levi Strauss Naik Usai Naikkan Proyeksi Pendapatan dan Laba

    Saham Levi Strauss Naik Usai Naikkan Proyeksi Pendapatan dan Laba

    Serratalhadafc.com – Saham Levi Strauss melonjak 7% pada Jumat, 11 Juli 2025 waktu setempat, setelah perusahaan denim ikonik asal AS ini menaikkan proyeksi pendapatan dan laba tahunannya.

    Mengutip Anugerahslot News pada Senin (14/7/2025), peningkatan permintaan di toko fisik dan kanal online menjadi faktor utama di balik optimisme Levi’s, meskipun margin laba tertekan akibat tarif impor baru dari AS.

    Saat ini, saham Levi’s diperdagangkan pada 14,92 kali estimasi laba 12 bulan ke depan, lebih rendah dibandingkan Ralph Lauren (20,32) namun lebih tinggi dari Abercrombie & Fitch (8,46), menurut data LSEG.

    Strategi Levi’s yang fokus pada penjualan langsung ke konsumen (DTC) dan penguatan produk denim gaya hidup inti terbukti berhasil mendorong penjualan dan laba kuartal kedua melampaui ekspektasi pasar.

    “Kinerja Levi’s sangat mengesankan,” ujar Dana Telsey, analis dari Telsey Advisory Group. Ia juga mencatat bahwa proyeksi baru perusahaan sudah memperhitungkan dampak kebijakan tarif, seperti bea 30% terhadap barang dari Tiongkok dan 10% untuk mitra dagang lainnya, menjadikan revisi tersebut semakin positif di mata investor.

    Levi’s Andalkan Diversifikasi Rantai Pasokan untuk Hadapi Tarif Impor AS

    Produsen denim ternama, Levi Strauss, menyatakan siap menghadapi dampak tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump dengan mengalihkan sebagian besar rantai pasoknya dari Tiongkok ke negara lain, seperti Bangladesh dan Kamboja. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara.

    “Peningkatan proyeksi tahunan Levi’s menunjukkan kekuatan pendapatan dan kemampuan mereka dalam mendiversifikasi sumber pasokan,” ujar Jim Duffy, analis dari Stifel.

    Dalam laporan keuangan kuartal kedua, Levi’s mencatat bahwa sekitar 60% pendapatannya berasal dari pasar luar negeri, dengan pertumbuhan 10% yang dipimpin oleh Eropa. Sementara itu, pendapatan domestik dari AS naik 7%.

    Pertumbuhan juga didorong oleh fokus perusahaan pada lini pakaian wanita, termasuk gaun dan rok denim, serta ekspansi merek Beyond Yoga. Hal ini menurut Matthew Boss, analis dari J.P. Morgan, telah meningkatkan minat konsumen muda terhadap produk-produk Levi’s.

  • Pasar Saham Eropa Melemah, Kekhawatiran Tarif Baru dari AS Jadi Pemicu

    Pasar Saham Eropa Melemah, Kekhawatiran Tarif Baru dari AS Jadi Pemicu

    Serratalhadafc.com – Pasar saham Eropa ditutup melemah menjelang akhir pekan, dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran atas kemungkinan kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat (AS) terhadap Uni Eropa. Hingga kini, pelaku pasar masih menantikan kepastian dari Gedung Putih terkait surat resmi yang dijadwalkan akan dirilis pada hari Jumat.

    Dilansir dari Anugerahslot CNBC, Sabtu (12/7/2025), indeks Stoxx Europe 600 mengalami penurunan sebesar 1,1%. Indeks-indeks utama lainnya juga mencatat pelemahan serupa: DAX Jerman dan CAC 40 Prancis masing-masing turun sekitar 0,9%, sementara FTSE 100 Inggris ikut terkoreksi sebesar 0,4%.

    Situasi ini terjadi di tengah sinyal kebijakan ekonomi yang bertolak belakang dari Amerika Serikat. Risalah pertemuan Federal Reserve (The Fed) bulan Juni menunjukkan bahwa mayoritas anggota dewan membuka kemungkinan untuk menurunkan suku bunga pada tahun ini—yang sempat menumbuhkan harapan pasar akan pelonggaran moneter.

    Namun demikian, CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, memberikan pandangan berbeda. Dalam pernyataannya saat menghadiri acara di Departemen Luar Negeri Irlandia pada Kamis lalu, Dimon memperingatkan bahwa risiko kenaikan suku bunga justru lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh banyak investor.

    “Pasar memperkirakan peluang kenaikan suku bunga sebesar 20%, tapi menurut saya angkanya lebih dekat ke 40-50%. Ini alasan yang cukup kuat untuk waspada,” ungkap Dimon.

    Ia juga menambahkan bahwa inflasi berpotensi kembali menjadi ancaman serius bagi perekonomian AS jika tidak ditangani dengan hati-hati.

    Sentimen Pasar Global Tertekan, Tarif Baru AS Picu Kekhawatiran Investor

    Sentimen pasar global kembali goyah setelah muncul kabar bahwa Amerika Serikat (AS) akan memberlakukan tarif impor sebesar 35% terhadap Kanada. Kebijakan ini menambah daftar panjang langkah proteksionis AS, menyusul tarif 25% terhadap Jepang, serta 50% untuk Brasil dan seluruh impor tembaga—angka yang jauh melebihi perkiraan para pelaku pasar.

    Dampaknya langsung terasa di pasar keuangan. Pada perdagangan siang di London, indeks Stoxx 600 mencatat penurunan hampir 1%. Sementara itu, kontrak berjangka untuk indeks Dow Jones Industrial Average di AS juga terkoreksi sebesar 0,7%, menandakan perubahan tajam dalam sentimen setelah euforia sebelumnya.

    Padahal, hanya sehari sebelumnya, bursa saham di Inggris dan Wall Street sempat mencatatkan rekor tertinggi, didorong oleh optimisme investor terhadap prospek ekonomi global dan kemungkinan pelonggaran suku bunga oleh The Fed.

    Namun, minimnya kemajuan dalam perundingan perdagangan antara Uni Eropa dan AS turut memperburuk suasana. Ketidakpastian yang terus berlanjut membuat investor mulai menahan diri menjelang musim panas yang penuh spekulasi.

    “Entah ini hanya jeda sejenak atau peringatan bagi investor soal risiko yang membayangi, yang pasti ketidakpastian belum akan berakhir,” tulis Dan Coatsworth, analis investasi dari AJ Bell, dalam catatannya.

    Kondisi ini menjadi sinyal bahwa pasar global masih sangat sensitif terhadap perkembangan kebijakan dagang, terutama dari AS, yang terus mengedepankan pendekatan proteksionis dalam menghadapi mitra dagangnya.

    Tekanan Global

    Ia menambahkan bahwa fokus pasar kini mulai bergeser menuju musim laporan keuangan kuartalan, yang akan diawali oleh sejumlah bank besar di Amerika Serikat.

    Kinerja perusahaan-perusahaan tersebut dianggap sebagai indikator penting untuk menilai sejauh mana dunia usaha mampu bertahan dan beradaptasi menghadapi tekanan global yang semakin rumit.

  • Bursa Asia Menguat Meski Trump Umumkan Tarif Baru untuk Sejumlah Negara

    Bursa Asia Menguat Meski Trump Umumkan Tarif Baru untuk Sejumlah Negara

    Serratalhadafc.com – Sebagian besar bursa saham di kawasan Asia dan Pasifik mengalami kenaikan pada perdagangan Selasa (8/7/2025), meskipun pasar global dikejutkan oleh pengumuman Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait pemberlakuan tarif impor baru terhadap sejumlah negara mitra dagang utama, termasuk di Asia.

    Melalui surat yang diunggah di akun Anugerahslot Truth Social-nya, Trump menyampaikan bahwa mulai 1 Agustus 2025, barang-barang yang diimpor ke AS dari Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Kazakhstan, dan Tunisia akan dikenakan tarif sebesar 25%.

    Tidak hanya itu, tarif impor lebih tinggi juga akan diberlakukan untuk beberapa negara Asia lainnya:

    • Indonesia: 32%
    • Bangladesh: 35%
    • Kamboja dan Thailand: 36%
    • Laos dan Myanmar: 40%

    Kebijakan ini berpotensi memicu ketegangan dagang baru, namun sejauh ini pasar tampaknya masih merespons dengan tenang.

    Kinerja Bursa Asia

    Hong Kong: Kontrak berjangka indeks Hang Seng diperdagangkan pada level 23.886, sedikit lebih rendah dibandingkan penutupan terakhir di angka 23.887,83, mengindikasikan pembukaan yang cenderung melemah.

    Jepang: Indeks acuan Nikkei 225 naik 0,36% di awal perdagangan, sementara indeks Topix yang mencerminkan performa lebih luas naik 0,31%.

    Korea Selatan: Indeks Kospi mencatat kenaikan 0,44%, sedangkan indeks saham berkapitalisasi kecil, Kosdaq, turut menguat 0,19%.

    Australia: Berbeda dengan bursa Asia lainnya, indeks acuan S&P/ASX 200 justru mengalami penurunan 0,44%. Pasar di Australia tengah menantikan keputusan dari Reserve Bank of Australia (RBA), yang diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 3,6% dalam pertemuan kebijakan yang berakhir besok.

    Meskipun tekanan tarif dari AS menimbulkan kekhawatiran, pelaku pasar tampaknya tetap optimistis terhadap prospek ekonomi regional, setidaknya dalam jangka pendek. Namun, investor akan terus memantau perkembangan kebijakan dagang lebih lanjut serta respons dari negara-negara yang terdampak.

    Wall Street Tertekan Setelah Pengumuman Kenaikan Tarif Impor oleh Presiden Trump

    Bursa saham Amerika Serikat atau Wall Street mengalami tekanan signifikan pada penutupan perdagangan Senin (7/7/2025). Penurunan ini terjadi setelah Presiden AS Donald Trump membocorkan sejumlah surat resmi yang berisi pengumuman kenaikan tarif impor terhadap beberapa negara mitra dagang utama.

    Mengutip CNBC pada Selasa (8/7/2025), indeks saham acuan Dow Jones Industrial Average turun sebanyak 422,17 poin atau 0,94%, dan ditutup di level 44.406,36. Sementara itu, indeks S&P 500 turun sebesar 0,79%, berakhir di angka 6.229,98, dan indeks teknologi Nasdaq Composite anjlok 0,92%, ditutup pada 20.412,52.

    Penutupan ketiga indeks utama ini menjadi yang terburuk sejak pertengahan Juni 2025, mencerminkan kekhawatiran investor atas dampak kebijakan tarif yang diumumkan.

    Tarif Baru Mulai Berlaku 1 Agustus

    Presiden Trump mengumumkan melalui serangkaian posting di platform Truth Social pada Senin bahwa barang impor dari setidaknya tujuh negara akan dikenakan tarif yang lebih tinggi mulai tanggal 1 Agustus 2025.

    Dalam unggahan tersebut, Trump membagikan tangkapan layar surat resmi yang ditandatanganinya, ditujukan kepada para pemimpin Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Kazakhstan, Afrika Selatan, Laos, dan Myanmar. Surat-surat ini secara resmi menetapkan tarif impor baru untuk setiap negara tersebut, menandai eskalasi kebijakan proteksionis AS yang berdampak langsung pada hubungan perdagangan global.

    Kebijakan tarif ini menimbulkan ketidakpastian di pasar global, mendorong investor untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Para analis memperingatkan bahwa langkah ini bisa memperpanjang ketegangan dagang dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa bulan ke depan.

    Saham Otomotif dan Teknologi Tertekan Usai Pengumuman Tarif Trump, Kekhawatiran Perdagangan Meningkat

    Saham-saham perusahaan besar terdampak langsung dari pengumuman tarif impor Presiden Donald Trump. Saham Toyota Motor turun tajam sebesar 4%, sementara Honda Motor anjlok 3,9%. Di sektor teknologi, saham Nvidia sedikit menurun, sedangkan saham Apple dan Alphabet turun lebih dari 1%. Selain itu, saham AMD juga merosot lebih dari 2%.

    Pengumuman ini menjadi yang pertama dari beberapa pengumuman kebijakan perdagangan yang akan diluncurkan oleh Trump dalam beberapa hari mendatang.

    Menteri Keuangan, Scott Bessent, menyatakan dalam program Squawk Box CNBC pada Senin bahwa selama 48 jam ke depan, akan ada beberapa pengumuman terkait kebijakan perdagangan. Ia menambahkan, “Ini akan menjadi beberapa hari yang sibuk.”

    Selain itu, ketegangan perdagangan semakin meningkat setelah Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara yang mendukung apa yang disebutnya sebagai “kebijakan Anti-Amerika BRICS.” Kelompok BRICS ini terdiri dari negara-negara pasar berkembang seperti Brasil, Rusia, India, dan Cina.

    Kebijakan ini memicu kekhawatiran investor mengenai eskalasi perang dagang yang dapat berdampak pada stabilitas pasar global dalam waktu dekat.

  • Investor Pantau Batas Waktu Tarif AS, Pasar Bersiap Hadapi Dampaknya

    Investor Pantau Batas Waktu Tarif AS, Pasar Bersiap Hadapi Dampaknya

    Serratalhadafc.com – Para investor global tengah mencermati perkembangan kebijakan tarif dari Washington, seiring berakhirnya masa penangguhan sementara atas pungutan impor. Jika batas waktu tersebut lewat pada Rabu tanpa munculnya eskalasi ketegangan dagang, hal ini berpotensi memberikan sentimen positif bagi pasar keuangan.

    Dilansir dari Channel Anugerahslot Asia, Minggu (6/7/2025), para negosiator Amerika Serikat (AS) saat ini tengah berpacu dengan waktu untuk mencapai kesepakatan dagang dengan lebih dari selusin mitra utama sebelum tenggat 9 Juli. Langkah ini dilakukan guna menghindari kenaikan tarif lebih tinggi yang telah lama diisyaratkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

    Trump dalam beberapa hari terakhir terus meningkatkan tekanan terhadap mitra dagang. Pada Rabu lalu, ia mengumumkan kesepakatan baru dengan Vietnam yang akan mengenakan tarif sekitar 20 persen lebih rendah dari sebelumnya terhadap sejumlah ekspor utama negara tersebut. Sementara itu, pembicaraan dengan India menunjukkan kemajuan, tetapi dialog dagang dengan Jepang—sekutu dekat AS sekaligus mitra dagang terbesar keenam—masih menghadapi hambatan.

    Di tengah dinamika kebijakan tersebut, pasar saham AS justru menunjukkan performa impresif. Setelah sempat terpukul akibat pengumuman tarif Trump pada awal April, indeks S&P 500 berhasil mencatatkan kenaikan sekitar 26% sejak titik terendahnya pada 8 April. Kinerja ini didorong oleh hasil keuangan perusahaan yang solid serta ketahanan ekonomi AS di tengah perubahan kebijakan yang cukup drastis.

    Namun, lonjakan ini lebih banyak digerakkan oleh investor ritel dan program pembelian kembali saham oleh korporasi, bukan oleh investor institusi. Bahkan, meskipun S&P 500 mencetak rekor baru, menurut estimasi Deutsche Bank, minat investor terhadap saham secara umum masih belum pulih sepenuhnya ke level sebelum Februari.

    Lisa Shalett, Chief Investment Officer Morgan Stanley Wealth Management, menyebut reli ini sebagai “reli yang rapuh dan sarat spekulasi”, mengingat fondasi utamanya bukan berasal dari partisipasi institusi besar atau arus modal kuat yang konsisten.

    Dengan waktu yang terus berjalan menuju tenggat tarif, pasar kini menanti apakah diplomasi dagang AS akan menghasilkan kesepakatan konkret atau justru memicu ketegangan baru yang berisiko mengguncang kembali stabilitas ekonomi global.

    Investor Tetap Waspada Meski Ketegangan Tarif Mereda, Reli Pasar Dinilai Didominasi Sektor Ritel

    Dalam sepekan terakhir, lonjakan pasar saham AS dinilai lebih banyak digerakkan oleh aktivitas investor ritel ketimbang lembaga keuangan besar. “Menurut saya, pergerakan ini sebagian besar didorong oleh sektor ritel. Sementara posisi lembaga masih cenderung netral,” ujar seorang analis pasar.

    Kondisi ini mencerminkan sikap hati-hati pelaku pasar. Para analis mencatat bahwa meskipun tidak ada lonjakan besar dalam ketegangan tarif baru-baru ini, investor tetap waspada terhadap sejumlah risiko seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi AS dan tingginya valuasi saham yang sudah melampaui rata-rata historis.

    Namun, di tengah kekhawatiran itu, ada harapan bahwa berlalunya batas waktu tarif pada Rabu mendatang tanpa adanya eskalasi berarti bisa menjadi sinyal positif bagi pasar dalam jangka pendek.

    “Saya rasa yang terjadi saat ini lebih banyak ancaman dan gertakan politik. Saya tidak melihat itu sebagai sesuatu yang membahayakan pasar secara signifikan,” ujar Irene Tunkel, Chief US Equities Strategist di BCA Research.

    Meski begitu, para investor juga tidak menaruh ekspektasi berlebihan. Mereka tidak melihat batas waktu tarif ini sebagai solusi permanen atas ketegangan dagang antara AS dan mitra-mitra globalnya.

    “Saya pribadi tidak melihat ini sebagai tenggat yang benar-benar tegas,” ucap Julian McManus, Portfolio Manager di Janus Henderson Investors.

    Ia menjelaskan bahwa penangguhan tarif selama 90 hari sebelumnya diberikan karena pasar sedang dalam kondisi tertekan, dan pemerintah membutuhkan waktu untuk menenangkan situasi sekaligus membuka ruang negosiasi baru. “Ini sebenarnya hanya waktu tambahan untuk mencoba mencari titik temu atau solusi jangka menengah,” katanya.

    Secara keseluruhan, meski situasi terlihat lebih tenang, dinamika pasar global masih sangat bergantung pada perkembangan kebijakan perdagangan AS dalam beberapa hari mendatang.

    Investor Masih Hati-Hati, Tapi Potensi Kenaikan Pasar Saham Masih Terbuka Lebar

    Strategis Deutsche Bank, Parag Thatte, mengungkapkan bahwa sikap hati-hati investor dalam menambah eksposur saham saat ini mengingatkan pada kondisi setelah koreksi pasar akibat pandemi pada Maret 2020. Kala itu, alokasi dana untuk saham kembali meningkat, namun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan pemulihan indeks pasar utama.

    “Ini menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk peningkatan eksposur saham, yang bisa menjadi sinyal positif bagi pasar jika semua kondisi tetap stabil,” jelas Thatte.

    Sementara itu, berdasarkan analisis Reuters terhadap data LSEG, setelah melalui semester pertama yang penuh gejolak, indeks S&P 500 kini memasuki periode yang secara historis kuat. Selama 20 tahun terakhir, bulan Juli tercatat sebagai bulan terbaik untuk indeks ini, dengan rata-rata pengembalian sebesar 2,5%.

    Ke depan, perhatian investor akan tertuju pada rilis data ekonomi penting, terutama laporan inflasi dan hasil kinerja kuartal kedua perusahaan. Data tersebut akan menjadi indikator utama bagi pelaku pasar untuk menilai kesehatan ekonomi AS serta kemungkinan arah kebijakan suku bunga The Federal Reserve.

    “Kita berada di titik kritis di mana para investor institusi harus menentukan sikap—apakah mereka akan percaya pada reli pasar ini atau justru mengambil langkah sebaliknya,” ujar Lisa Shalett, Chief Investment Officer Morgan Stanley Wealth Management.

  • Pasar Keuangan Global Tertekan Sentimen Negatif Usai Pernyataan Donald Trump dan Rilis Data Inflasi AS

    Pasar Keuangan Global Tertekan Sentimen Negatif Usai Pernyataan Donald Trump dan Rilis Data Inflasi AS

    Serratalhadafc.com – Pasar keuangan global kembali diliputi sentimen negatif setelah pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengenai rencananya untuk menaikkan tarif dagang. Pernyataan ini muncul tak lama setelah data inflasi AS untuk Mei 2025 diumumkan, yang mencatat kenaikan sebesar 0,1%.

    Bursa saham AS mengalami pelemahan tipis pada perdagangan Rabu (12/6/2025). Indeks S&P 500 melemah 0,3%, Nasdaq turun 0,5%, sementara Dow Jones nyaris tidak berubah.

    Laporan inflasi menunjukkan bahwa kenaikan harga konsumen berada di bawah ekspektasi sejumlah ekonom. Kenaikan inflasi pada bulan tersebut terutama dipicu oleh meningkatnya biaya sewa. Di sisi lain, harga bensin mengalami penurunan, dan harga pangan tercatat naik sebesar 0,3%. Secara tahunan, inflasi berada di level 2,4%, sementara inflasi inti—yang tidak memasukkan komponen makanan dan energi—mencapai 2,8%.

    Meskipun tekanan inflasi saat ini tergolong moderat, para analis memperkirakan adanya potensi lonjakan inflasi di masa depan sebagai dampak dari kebijakan tarif baru yang direncanakan.

    Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menjelaskan bahwa dampak dari tarif baru belum sepenuhnya terasa karena banyak peritel masih menjual produk dari stok lama.

    “Pemerintah AS terlihat berupaya menekan perusahaan besar untuk tidak langsung menaikkan harga. Namun, para ekonom memprediksi bahwa efek dari kebijakan tarif akan muncul secara bertahap dan berpotensi mendorong inflasi lebih tinggi ke depannya,” kata Fahmi dalam pernyataan resmi yang dikutip dari Anugerahslot pada Jumat (13/6/2025).

    Wacana Kenaikan Tarif Dagang oleh Trump Picu Kehati-hatian Investor, Meski Inflasi Mulai Terkendali

    Saat investor mulai melihat sinyal positif dari data inflasi Amerika Serikat, pernyataan terbaru dari mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali menghadirkan ketidakpastian. Trump menyuarakan rencana untuk menerapkan tarif dagang secara sepihak terhadap sejumlah mitra dagang AS dalam waktu 1–2 minggu ke depan, menjelang tenggat 9 Juli 2025.

    “Pernyataan ini berpotensi menambah tekanan terhadap pasar, apalagi jika wacana tersebut berkembang menjadi kebijakan konkret,” ujar analis Reku, Fahmi Almuttaqin. Ia menambahkan, saat ini banyak media melaporkan bahwa Trump berniat mengirimkan surat kepada negara-negara mitra dagang yang berisi rincian tarif baru dengan pendekatan ‘take it or leave it’.

    Kendati demikian, masih belum ada kepastian apakah Trump benar-benar akan merealisasikan rencana tersebut tepat waktu. Sebelumnya, ia beberapa kali menetapkan tenggat kebijakan yang akhirnya ditunda atau dibatalkan.

    Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar semakin berhati-hati, meskipun tren inflasi saat ini menunjukkan perbaikan. Investor tetap fokus pada risiko inflasi ke depan, terutama jika kebijakan tarif baru terealisasi dan mendorong kenaikan harga barang impor.

    Aset kripto pun belum menunjukkan lonjakan harga yang signifikan, karena investor menanti kejelasan lebih lanjut dan mempertimbangkan kemungkinan langkah yang akan diambil oleh The Federal Reserve dalam pertemuan FOMC pekan depan.

    Inflasi Mereda, Namun Ketidakpastian Tarif dan Suku Bunga Bayangi Pasar

    Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menyampaikan bahwa perbaikan data inflasi berhasil meredam sentimen negatif yang lebih dalam di pasar keuangan. Namun, ketidakpastian tetap menjadi faktor dominan, terutama jika rencana penerapan tarif dagang benar-benar dijalankan dan negosiasi antara Amerika Serikat dan China tidak menghasilkan kemajuan hingga Agustus.

    Saat ini, pasar memperkirakan bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan suku bunga acuannya dalam pertemuan minggu depan. Proyeksi pemangkasan suku bunga baru diperkirakan terjadi pada September, dengan syarat inflasi tetap terkendali. Meski demikian, tekanan politik dari Donald Trump agar The Fed segera memangkas suku bunga juga menjadi sorotan, terutama karena kebijakan tarif yang tertunda berpotensi kembali memicu kenaikan inflasi.

    Dalam kondisi pasar yang penuh fluktuasi ini, Fahmi menekankan pentingnya strategi investasi yang bijak. Salah satu pendekatan yang disarankan adalah Dollar Cost Averaging (DCA), yakni strategi investasi dengan membeli aset secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Strategi ini dinilai efektif untuk mengurangi risiko akibat volatilitas harga dan membantu investor tetap konsisten dalam menghadapi ketidakpastian pasar.

  • Harga Bitcoin Naik 7% Setelah Trump Mencabut kebijakan Tarif

    Harga Bitcoin Naik 7% Setelah Trump Mencabut kebijakan Tarif

    Serratalhadafc.com – Harga Bitcoin (BTC) melonjak lebih dari 7% dan berhasil menembus level USD 83.000 pada Kamis, 10 April 2025, mencatatkan kenaikan intraday tertinggi sejak Maret lalu.

    Kenaikan ini terjadi usai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan pencabutan sementara tarif global selama 90 hari, dengan pengecualian untuk China. Kebijakan baru ini menggantikan rencana sebelumnya yang menetapkan tarif tetap 10% untuk semua mitra dagang AS selain China.

    Langkah tersebut mendapat respons positif dari pelaku pasar global, termasuk investor di pasar kripto.

    Selain Bitcoin, sejumlah altcoin seperti Ethereum (ETH), XRP, dan Dogecoin (DOGE) juga mengalami lonjakan harga dua digit. Namun, meski pasar terlihat bergairah, data dari pasar derivatif menunjukkan bahwa trader profesional masih berhati-hati.

    Premi berjangka dua bulan BTC sempat melampaui ambang batas netral 5%, tapi gagal mempertahankan momentum tersebut. Sementara itu, delta skew 25%—indikator ekspektasi risiko dalam opsi BTC—sempat menyentuh 12% sebelum turun ke level netral 3% usai pernyataan dari Donald Trump.

    “Secara teknikal memang ada dorongan harga yang kuat, tapi pelaku pasar besar belum menunjukkan agresivitas yang signifikan,” kata Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, dalam keterangan resmi, Jumat (11/4/2025).

    Ia menambahkan, premi kontrak berjangka yang belum stabil dan tingkat pendanaan yang masih berada di zona netral menunjukkan pasar masih wait and see.

    Fyqieh juga menyoroti faktor makroekonomi global, khususnya data inflasi dari AS dan China yang akan segera dirilis, sebagai penentu arah selanjutnya bagi harga Bitcoin.

    “Konsolidasi dan volatilitas masih akan mendominasi. Jika data inflasi menunjukkan tekanan rendah, ada peluang BTC menguat ke USD 88.800 atau bahkan USD 100.000. Namun jika inflasi tinggi, BTC bisa kembali tertekan dan turun ke kisaran support USD 73.500,” tutup Fyqieh.

    Penyebab Harga Kripto Terjun Bebas

    Harga aset kripto jatuh tajam setelah bursa saham berjangka AS dibuka melemah pada 6 April, menyusul kebijakan tarif baru dari pemerintahan Trump. Mulai 5 April, semua negara dikenakan tarif impor 10%, dengan tarif lebih tinggi dikenakan pada China (34%), Uni Eropa (20%), dan Jepang (24%).

    Akibatnya, Bitcoin (BTC) anjlok lebih dari 6% dalam 24 jam terakhir ke level USD 77.883. Ether (ETH) turun lebih dalam, lebih dari 12%, ke USD 1.575. Kapitalisasi pasar kripto secara keseluruhan terkoreksi lebih dari 8% menjadi sekitar USD 2,5 triliun.

    Namun, sedikit pemulihan terjadi. BTC naik 1,4% ke USD 78.500, dan ETH naik ke USD 1.594. Sementara itu, Crypto Fear & Greed Index jatuh ke level 23 pada 7 April, menandakan pasar dalam kondisi “sangat takut”.

    Charlie Sherry, CFO BTC Markets Australia, menyebut penurunan ini bisa dimaklumi karena volume perdagangan global rendah saat akhir pekan. “Jika ada aksi jual besar di hari sepi, dampaknya langsung terasa,” ujarnya dikutip dari Cointelegraph, Senin (7/4/2025).

    Ia menambahkan, pernyataan Trump soal tarif memicu ketidakpastian hubungan dagang global dan menciptakan kepanikan di pasar. Di sisi lain, pendiri BitMEX, Arthur Hayes, menilai kondisi ini bisa membuka peluang kenaikan harga Bitcoin dalam waktu dekat.

    Pasar saham AS ikut terguncang. Kontrak berjangka untuk S&P 500 turun hampir 4%, sementara Nasdaq dan Dow Jones juga melemah tajam. Dow bahkan mencatat penurunan lebih dari 8%.

    Analis dari The Kobeissi Letter menyatakan bahwa koreksi ini mendorong S&P 500 masuk ke zona bear market. Selama 32 hari terakhir, pasar saham AS telah kehilangan sekitar USD 400 miliar setiap harinya. Tom Dunleavy dari MV Global memperkirakan, jika tren ini berlanjut, ini bisa menjadi salah satu kejatuhan tiga hari terburuk dalam sejarah pasar AS.

  • Stablecoin Jadi Pilihan di Tengah Tarif Trump

    Stablecoin Jadi Pilihan di Tengah Tarif Trump

    Serratalhadafc.com – Ketidakpastian global kembali meningkat setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif besar-besaran terhadap sejumlah negara mitra dagang. Dampaknya langsung terasa ke berbagai sektor, termasuk pasar saham, nilai tukar Rupiah, dan pasar kripto domestik.

    Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami aksi panic selling, sementara Rupiah terus tertekan terhadap dolar AS. Nilai tukar USD/IDR spot tercatat menyentuh Rp16.864 dan sempat melampaui Rp17.000 di pasar offshore. Dalam situasi ini, pelaku pasar cenderung mengadopsi strategi defensif.

    Chief Marketing Officer Tokocrypto, Wan Iqbal, menyatakan bahwa kondisi makroekonomi saat ini mendorong investor untuk lebih berhati-hati, khususnya dalam menghadapi aset berisiko. Bitcoin sendiri sudah mengalami koreksi lebih dari 25% dari puncak harganya, sementara altcoin juga terkoreksi tajam.

    Iqbal menjelaskan bahwa penurunan volume perdagangan dan minimnya aksi beli mencerminkan pasar yang masih berada dalam fase konsolidasi. Tekanan jual belum sepenuhnya mereda.

    “Investor saat ini cenderung fokus pada aset utama seperti Bitcoin dan stablecoin, sambil menjauhi altcoin yang lebih spekulatif dan rentan terhadap fluktuasi harga,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (10/4/2025).

    Meski Trump telah mengumumkan penangguhan sementara tarif selama 90 hari untuk 75 negara yang masih dalam tahap negosiasi, ia justru memperketat kebijakan terhadap China. Tarif atas produk dari China kini naik menjadi 125% dan langsung berlaku, meningkatkan kekhawatiran akan konflik dagang jangka panjang.

    Tether Mulai jadi Favorit Untuk Investasi

    “Di tengah gejolak global dan fluktuasi nilai tukar, investor kripto di Indonesia mulai beralih ke aset yang lebih stabil, terutama stablecoin seperti Tether (USDT),” ujar Wan Iqbal.

    Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), USDT telah menjadi aset kripto paling aktif diperdagangkan di Indonesia dalam dua tahun terakhir, melampaui Bitcoin, Ethereum, dan Solana. CoinMarketCap mencatat bahwa volume perdagangan USDT di tiga bursa kripto terbesar di Indonesia telah menembus angka USD 7 miliar sejak awal 2024.

    “Di Tokocrypto, pasangan USDT/IDR menyumbang lebih dari 25% dari total volume transaksi harian dalam 24 jam terakhir. USDT kini menjadi jangkar utama aktivitas trading di Indonesia,” jelas Iqbal.

    USDT tidak hanya menawarkan kestabilan harga, tetapi juga digunakan sebagai alat lindung nilai terhadap volatilitas rupiah.

    “Dominasi USDT juga memperkuat perannya sebagai pintu masuk ke berbagai platform DeFi dan aplikasi kripto lainnya,” tambahnya.

    Menurut Iqbal, kestabilan yang ditawarkan USDT membuatnya menarik bagi investor yang ingin menjaga arus kas tanpa harus terkena risiko fluktuasi harga kripto secara langsung.